Sabtu, 15 Desember 2012 - 0 komentar

Laut Indah Karena Ombak Part 3



-Flashback- 
Senin, 6 Februari 2012, tanggal penerimaan mahasiswa KKN oleh sekolah. Kami, ber-12 orang, berkumpul bersama mendapat pengarahan dari guru koordinator. Sosoknya yang tenang dan bijak, membuat kami tak menyadari bahwa sebenarnya beliau memberikan kami tugas yang berat :P (terhipnotis sosok ke-bapak-annya). Tiba-tiba, di tengah pengarahan, datang lagi seorang anggota KKN kami, yang akhirnya aku tahu kalau dia bernama Izi. Dia terlambat dalam kondisi sepenting ini, OMG! Dia duduk di sampingku. Bodohnya lagi, dia tak membawa kertas untuk menulis info penting. Go to hell… 3:)

Hari itu juga kami observasi lapangan, memastikan apakah program kerja yang kami ambil sudah tepat. Untuk efektivitas kerja, kami membagi tugas. Entah bagaimana ceritanya aku lupa, saat itu aku sekelompok dengan Akso dan Izi bagian sarana dan prasarana. Kikuk rasanya mengingat bahwa aku kurang akrab dengan mereka.

Pertama waktu itu, kami observasi UKS. Kami melihat sarana yang tersedia, dari tempat tidur sampai masalah obat-obatan. Saat menggeledah lemari UKS, Izi menemukan pemijat kepala. Dia memijatkannya ke Akso.

“Tria, pernah lihat ini? Pasti belum,” serunya padaku.
“Iya, belum, apa itu?” jawabku tertarik.
“Sini,” tanpa babibubebo, Izi memijat kepalaku dengan pemijat itu. Dia jauh lebih tinggi dari aku, jadi mudah saja dia menjangkau kepalaku.

Deg! Jantungku (kedengarannya) berdetak lebih keras dari biasanya. Walau hanya beberapa detik, aku yakin raut wajahku berubah. Entah perasaan macam apa ini.

Observasi kami berlanjut terus, sampai akhirnya ke lapangan sepak bola. Bodohkah mereka? Lihatlah aku, aku menggunakan highheels. Tak mudah berjalan cepat di lapangan yang becek mengimbangi langkah kaki jenjang Akso dan Izi.

“Hei, jalannya jangan cepat-cepat donk! Aku susah nih jalannya,” teriakku kesal.

 Akso tetap saja ngeloyor, entah mendengar teriakanku entah tidak. Izi tiba-tiba memandangku di belakangnya, kami saling pandang. Diam. Melanjutkan perjalanan. Aku benar-benar bingung, memandangnya saat itu memberikan rasa ‘kosong’.
***
2 Juli 2012, KKN benar-benar dimulai. Kami mulai ke sekolah meskipun anak-anak tidak sekolah. Saat itu masih libur kenaikan kelas, sekolah sibuk menerima siswa baru. Kami menjalankan program kerja yang telah kami susun, semakin cepat selesai semakin baik, sebelum nanti justru sibuk dengan PPL. Hmmzz, versi universitas kami, KKN dan PPL digabung, waktu dan lokasinya. Tugas kami tidak ringan, hanya saja menyenangkan menyelesaikan tugas bersama teman-teman yang mengasyikkan. Kesal itu wajar pada sesama teman, tetapi semua berjalan baik. Setidaknya kami saling menghormati sesama anggota. 

Ternyata bukan hanya untuk program kerjaku yang harus aku perjuangkan sekuat tenaga, hubunganku dengan Awan pun ternyata menyita tenagaku untuk berjuang. Sejak KKN dimulai, Awan menarik diri dari hidupku, “Aku gak ingin mengganggu kesibukanmu.” Alasan klasik! Dia mulai sering ngambek dengan alasan jenuh, membuatku tak habis pikir. Siapa sebenarnya yang mulai menjauh, hah. Sesibuk apapun aku selalu berusaha menghubunginya, Awan terlalu sok baik untuk tidak menggangguku dengan SMS atau telponnya. Beruntungnya, masalah ini dapat tersingkirkan (sedikit) dengan kesibukan KKN dan kebersamaan teman-teman.

“Halah, paling gak lama putus, hahaha,” ledek Tio.
“Iya, lihat aja mesti ntar endingnya putus,” tambah Ano.
Sial, mereka suka sekali menggodaku seperti itu. Mengerikan! 

Sejak itu, Awan mulai jarang berkomunikasi denganku. Kadang, berhari-hari, dia tidak menghubungiku dengan alasan hemat, gak ada budget buat beli pulsa. Kadang, mereject telponku dengan alasan handphone-nya rusak. Aku mulai tak mengerti, hubunganku tiba-tiba serasa menggantung. Haruskah di saat KKN aku juga memikirkan hal seperti ini?! 

Masa-masa KKN. Banyak cerita. Suka dan duka. Hari pertama KKN, aku harus membuat presensi kehadiran mahasiswa KKN dan membuat jadwal piket harian. Hari kedua, tim membersihkan ruang kelas dan renovasi lapangan. Kegiatan ini berlangsung hingga beberapa hari selanjutnya. Hari ketiga dan keempat, pusing dengan matriks kerja (serasa ingin aku sobek-sobek kertas matriks itu dan kutelan bulat-bulat). Hari kedelapan dan kesembilan, aku membantu sekolah dalam penerimaan siswa baru. Sampai 9 Juli 2012, dari Dinas Purworejo, lokasi KKN-ku, menerima kami secara resmi. Sejak itu, siswa-siswa sudah mulai aktif sekolah. Kami pun semakin sibuk dengan kegiatan KKN-PPL.
***
Suatu hari di bulan Agustus,
“Izi, besok mudik gak? Kalau iya, aku nebeng ya,” itulah pesan singkat yang aku kirim ke Izi.
“Iya, oke deh! Kamu ke alun-alun ya, ketemu di sana. Jam 4 sore ya,” balasnya.
“Terima kasih J” jawabku.
Saat itu bulan puasa, aku males naik bus. Kebetulan Izi searah denganku. Aku nebeng pulang. Tahukah, aku tak sabar menanti hari itu? Hehehe :P statusku? Nggantung! 

Ketika hari H itu datang, aku tepat bertemu dengannya pukul 4 sore di alun-alun. Dia menggunakan jaket hitam bertuliskan Nike warna emas, celana jeans 3 per 4, dan sebuah tas gendong di punggungnya. Perjalananku tak semudah yang dibayangkan, aku harus menahan beban tubuhku selama bermotor karena tumpangan kaki di motornya rusak. Pegal itu pasti, tapi semua itu berbeda sekali dengan perasaan di hatiku. Aku senang, itu tak bohong. Kami bercerita banyak hal, termasuk pengalaman Izi saat ditilang dan mengajar anak banci. 

“Besok balik aku nebeng lagi ya, boleh?” pintaku malu-malu.
“Iya tapi begini kondisinya, gak apa-apa?” jawabnya.
“Iya gak apa-apa, ditebengin aja aku udah ucapin makasih,” jelasku.
Sekitar 15 menit sebelum adzan maghrib, aku dan Izi sampai di rumahku. Sedih! Aku ingin lebih lama lagi bersamanya. Huuuft, masih ada besok lagi.
“Maaf, aku langsung aja ya, gak mampir,” ucap Izi.
“Iya gak apa-apa, makasih ya,” jawabku.
Sekilas, kami bertemu dengan bapakku. Izi dan bapak sempat saling melempar senyum. Saat aku masuk ke rumah, ternyata orang tuaku sudah menyiapkan hidangan berbuka untuk Izi.
“Udah sampai belom? Tahu gak ternyata ortu aku mengira kamu mau mampir tadi,” SMS-ku ke Izi.
“Udah, ini lagi makan. Iyakah, salam aja buat mereka,” balasnya.

Esok hari, baliknya aku nebeng lagi. “Nak, titip Tria ya,” ucap ibu sambil tersenyum pada Izi. Ibu mengantarku menemui Izi. Mendengar kata-kata ibu, Izi hanya mengangguk sambil tersenyum yang berarti –iya tentu saja-. Sayangnya kali ini, Izi kurang beruntung. Jam tangannya ketinggalan, “Jam aku ketinggalan nie,” ceritanya. “Kamu buru-buru ya tadi?” tanyaku. “Gak kok,” jawabnya singkat. Kunci motornya pun entah dimana (motornya ajaib, nyala tanpa kunci). 

Waktu itu, kami berhenti untuk isi bensin. Izi dengan gelisah mencari-cari kunci motornya, di semua saku dia cari dan hasilnya nihil. “Dimana ya kunci motorku?” bingung Izi. Jelas aja aku khawatir, jangan-jangan jatuh di jalan. Lah, kalau begitu, bagaimana kami melanjutkan perjalanan? “Lah, dimana?” bingungku juga. Sejenak kemudian, aku lihat Izi ngobrol dengan seseorang yang juga tengah antri isi bensin. “Mas, pinjem kunci motornya, kunci saya jatuh nih,” bilang Izi kepada pengantri bensin itu. Aku? Jelas saja kaget dengan peristiwa tak biasa ini. Aku hanya terdiam melihat Izi menggunakan kunci pinjaman itu untuk membuka jok motornya. “Baru liat motor aneh begini ya?” canda Izi. Aku tersenyum dan bilang, “Iya, hehehe :P aneh!” Kami melanjutkan perjalanan setelah memastikan si Ungu, motor Izi, sudah kenyang dengan bensin.

Di jalan, kami bertemu dengan Akso.
“Kamu nebeng Akso aja gih, kasian kalau pake motorku,” seru Izi.
Aku kaget mendengar pernyataan itu, yang aku inginkan bukan perjalanan yang cepat sampai, aku hanya ingin duduk di belakangnya, bersamanya, memandang punggungnya. Aku sama sekali tidak berkomentar apapun. Izi pun diam.
“Nanti aku buka puasa di kos cewe ya?” pintanya.
“Oh iya, atau mau buka puasa di jalan tak apa,” jawabku.
“Ah tidak, aku sudah bawa makanan dari rumah, nanti minum saja,” jelasnya.

Kami sampai di kos tepat saat adzan maghrib berkumandang. Dia buka puasa di kos cewe sesuai dengan rencana, kemudian pulang ke kos cowo. “Terima kasih, hati-hati di jalan,” ucapku saat mengantarnya ke depan pintu. Saat aku masuk, teman-teman sudah duduk dengan rapi ingin mendengarkan ceritaku bersama Izi. Hahaha J terlalu indah untuk aku ceritakan dengan kata-kata, teman. Sepanjang jalan kenangan, terbayang saat bersamanya setiap kali melewati jalan yang sama seperti saat itu. Aku bahagia dalam kesederhanaan hidupnya. Aku bahkan lupa bahwa sebelum ini pun aku pernah nebeng pulang bersama Awan. Kemana hatiku sebenarnya berada?
***
Sebelum mudik dengan Izi, aku pernah juga mudik bersama Awan.
“Ayolah jemput aku, aku kangen. Apa kamu gak kangen aku?” rengekku di SMS.
“Tapi aku ada acara, gak tau bisa diwakilin atau gak. Penting! Pengukuran seragam KKN,” balasnya menjelaskan.
“Tapi kamu udah janji, kan bisa balik lagi besok,” tambahku.
“Loh kasihan motorku dong bolak balik terus, cape juga,” balasnya lagi.
“Ya udah, aku bisa pulang sendiri, lagipula aku bukan anak kecil,” ancamku childish.
“Oke! Aku pulang, besok aku jemput,” balasnya menyerah.

Aku tersenyum, akhirnya aku bisa bertemu dengan pacarku yang mulai aneh. Meskipun aku harus terkesan childish, egois, memalukan! Pada hari yang dinantikan, dia benar menjemputku.
Besoknya saat aku mau pulang, aku SMS Awan, meskipun aku sudah tahu apa jawabannya, “Anter aku yuks.”
“Gak bisa, lagi puasa nih, lemes,” balasnya.
“Ayolah, kan deket,” paksaku.
“Lain kali lah ya, bolak balik cape,” balasnya lagi tetap keukeuh dengan pendiriannya.
Aku mulai kesal, bukan karena dia tidak mau mengantarku sebenarnya, lebih karena dia mulai menghindar bertemu denganku.
“Oke, aku gakkan ngrepotin kamu lagi kok. Gak bisa ya manjain aku sedikit aja,” tegasku.
“Manjain menurut kamu itu seperti apa sih? Semua yang kamu mau harus aku turuti?” balasnya.
“Ah, ya sudahlah, aku mau naik bus,” jawabku mengakhiri obrolan.

Aku tak pernah benar-benar marah saat itu. Bahkan aku menulis SMS sambil tertawa melihat tingkahku sendiri. Menurutku, memalukan, kata-kata itu hanya untuk melihat respon dari Awan. Sedikit berlebihan, tapi aku memang penasaran dengan tingkah anehnya. Aku takkan pernah menyangka bahwa ternyata itu adalah pertemuan terakhirku dengan Awan. Bukan karena Awan meninggal, tetapi seperti yang aku rasa, dia menghindariku, tak ingin lagi bertemu denganku. Seandainya aku tahu….
***
19 Agustus 2012, hari lebaran datang, Allohu Akbar!! Maha Besar Alloh dengan segala kekuasaan dan kemuliaanNya, aku masih diberi kesempatan merayakan hari ini bersama keluarga tercinta. H+1, H+2, H+3, dan seterusnya H+5.
“Awan mau datang gak nih ke rumah?” tanya nenek.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. Diam.
“Awan masih menghubungimu?” tanya ibu.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. Diam.
Apa yang harus aku jawab? SMS tak dibalas, telpon tak diangkat. Dia dimana saja aku tak pernah tahu.
“Hei, Tria, aku kemarin lihat Awan lagi jalan ma temen-temennya. Apa dia udah mampir ke rumah?” tanya Nita.
“Belum,” jawabku singkat.
“Apa sih mau tuh anak, gak jelas! Sudahlah, gak ada guna dipertahankan, pengecut!” seru Nita.
Air mataku perlahan menetes mengingat apa yang sebenarnya terjadi diantara kami. Kisahku dan Awan terasa sangat singkat. Semua hanya karena rasa bersalah Awan dengan masa lalunya bersama mantan pacarnya sebelum denganku. Nita adalah sahabatku yang juga teman SMP Awan. Aku tentu saja menceritakan masalahku dengan Awan, cuma dia yang bisa membantuku saat ini.
“Aku akan membuat Awan menghubungimu,” ucap Nita menenangkanku, “Tria, hidup itu seperti lautan, laut akan semakin indah dengan adanya ombak, bukan? Sabarlah.”
Suatu malam, di malam terakhir aku di rumah, sebelum balik ke kos, Awan SMS, “Maaf belum bisa mampir, lagi sibuk.”
Aku balas, “Iya aku ngerti.”
Jangan kau ganggu hidupku lagi, sudah jelas kini yang kau mau.
Kau sakiti hati ini tuk kesekian kali, memang ku cinta namun tak begini…
Terserah kali ini, sungguh aku takkan peduli, ku tak sanggup lagi jalani cinta denganmu.
Biarkan ku sendiri tanpa bayang-bayangmu lagi, ku tak sanggup lagi, mulai kini semua terserah….
***

0 komentar:

Posting Komentar