-Flashback-
Senin, 6 Februari 2012,
tanggal penerimaan mahasiswa KKN oleh sekolah. Kami, ber-12 orang, berkumpul
bersama mendapat pengarahan dari guru koordinator. Sosoknya yang tenang dan
bijak, membuat kami tak menyadari bahwa sebenarnya beliau memberikan kami tugas
yang berat :P (terhipnotis sosok ke-bapak-annya). Tiba-tiba, di tengah
pengarahan, datang lagi seorang anggota KKN kami, yang akhirnya aku tahu kalau
dia bernama Izi. Dia terlambat dalam kondisi sepenting ini, OMG! Dia duduk di
sampingku. Bodohnya lagi, dia tak membawa kertas untuk menulis info penting. Go
to hell… 3:)
Hari itu juga kami observasi lapangan,
memastikan apakah program kerja yang kami ambil sudah tepat. Untuk efektivitas
kerja, kami membagi tugas. Entah bagaimana ceritanya aku lupa, saat itu aku
sekelompok dengan Akso dan Izi bagian sarana dan prasarana. Kikuk rasanya
mengingat bahwa aku kurang akrab dengan mereka.
Pertama waktu itu, kami observasi UKS.
Kami melihat sarana yang tersedia, dari tempat tidur sampai masalah
obat-obatan. Saat menggeledah lemari UKS, Izi menemukan pemijat kepala. Dia
memijatkannya ke Akso.
“Tria, pernah lihat ini? Pasti belum,”
serunya padaku.
“Iya, belum, apa itu?” jawabku tertarik.
“Sini,” tanpa babibubebo, Izi memijat
kepalaku dengan pemijat itu. Dia jauh lebih tinggi dari aku, jadi mudah saja
dia menjangkau kepalaku.
Deg! Jantungku (kedengarannya) berdetak
lebih keras dari biasanya. Walau hanya beberapa detik, aku yakin raut wajahku
berubah. Entah perasaan macam apa ini.
Observasi kami berlanjut terus, sampai
akhirnya ke lapangan sepak bola. Bodohkah mereka? Lihatlah aku, aku menggunakan
highheels. Tak mudah berjalan cepat di lapangan yang becek mengimbangi langkah
kaki jenjang Akso dan Izi.
“Hei, jalannya jangan cepat-cepat donk!
Aku susah nih jalannya,” teriakku kesal.
Akso
tetap saja ngeloyor, entah mendengar teriakanku entah tidak. Izi tiba-tiba
memandangku di belakangnya, kami saling pandang. Diam. Melanjutkan perjalanan.
Aku benar-benar bingung, memandangnya saat itu memberikan rasa ‘kosong’.
***
2 Juli 2012, KKN benar-benar dimulai.
Kami mulai ke sekolah meskipun anak-anak tidak sekolah. Saat itu masih libur
kenaikan kelas, sekolah sibuk menerima siswa baru. Kami menjalankan program
kerja yang telah kami susun, semakin cepat selesai semakin baik, sebelum nanti
justru sibuk dengan PPL. Hmmzz, versi universitas kami, KKN dan PPL digabung,
waktu dan lokasinya. Tugas kami tidak ringan, hanya saja menyenangkan
menyelesaikan tugas bersama teman-teman yang mengasyikkan. Kesal itu wajar pada
sesama teman, tetapi semua berjalan baik. Setidaknya kami saling menghormati
sesama anggota.
Ternyata bukan hanya untuk program
kerjaku yang harus aku perjuangkan sekuat tenaga, hubunganku dengan Awan pun
ternyata menyita tenagaku untuk berjuang. Sejak KKN dimulai, Awan menarik diri
dari hidupku, “Aku gak ingin mengganggu kesibukanmu.” Alasan klasik! Dia mulai
sering ngambek dengan alasan jenuh, membuatku tak habis pikir. Siapa sebenarnya
yang mulai menjauh, hah. Sesibuk apapun aku selalu berusaha menghubunginya,
Awan terlalu sok baik untuk tidak menggangguku dengan SMS atau telponnya. Beruntungnya,
masalah ini dapat tersingkirkan (sedikit) dengan kesibukan KKN dan kebersamaan
teman-teman.
“Halah, paling gak lama putus, hahaha,”
ledek Tio.
“Iya, lihat aja mesti ntar endingnya
putus,” tambah Ano.
Sial, mereka suka sekali menggodaku
seperti itu. Mengerikan!
Sejak itu, Awan mulai jarang
berkomunikasi denganku. Kadang, berhari-hari, dia tidak menghubungiku dengan
alasan hemat, gak ada budget buat beli pulsa. Kadang, mereject telponku dengan
alasan handphone-nya rusak. Aku mulai tak mengerti, hubunganku tiba-tiba serasa
menggantung. Haruskah di saat KKN aku juga memikirkan hal seperti ini?!
Masa-masa KKN. Banyak cerita. Suka dan
duka. Hari pertama KKN, aku harus membuat presensi kehadiran mahasiswa KKN dan
membuat jadwal piket harian. Hari kedua, tim membersihkan ruang kelas dan
renovasi lapangan. Kegiatan ini berlangsung hingga beberapa hari selanjutnya.
Hari ketiga dan keempat, pusing dengan matriks kerja (serasa ingin aku sobek-sobek
kertas matriks itu dan kutelan bulat-bulat). Hari kedelapan dan kesembilan, aku
membantu sekolah dalam penerimaan siswa baru. Sampai 9 Juli 2012, dari Dinas
Purworejo, lokasi KKN-ku, menerima kami secara resmi. Sejak itu, siswa-siswa
sudah mulai aktif sekolah. Kami pun semakin sibuk dengan kegiatan KKN-PPL.
***
Suatu hari di bulan Agustus,
“Izi, besok mudik gak? Kalau iya, aku
nebeng ya,” itulah pesan singkat yang aku kirim ke Izi.
“Iya, oke deh! Kamu ke alun-alun ya,
ketemu di sana. Jam 4 sore ya,” balasnya.
“Terima kasih J” jawabku.
Saat itu bulan puasa, aku males naik bus.
Kebetulan Izi searah denganku. Aku nebeng pulang. Tahukah, aku tak sabar
menanti hari itu? Hehehe :P statusku? Nggantung!
Ketika hari H itu datang, aku tepat
bertemu dengannya pukul 4 sore di alun-alun. Dia menggunakan jaket hitam
bertuliskan Nike warna emas, celana jeans 3 per 4, dan sebuah tas gendong di
punggungnya. Perjalananku tak semudah yang dibayangkan, aku harus menahan beban
tubuhku selama bermotor karena tumpangan kaki di motornya rusak. Pegal itu
pasti, tapi semua itu berbeda sekali dengan perasaan di hatiku. Aku senang, itu
tak bohong. Kami bercerita banyak hal, termasuk pengalaman Izi saat ditilang
dan mengajar anak banci.
“Besok balik aku nebeng lagi ya, boleh?”
pintaku malu-malu.
“Iya tapi begini kondisinya, gak
apa-apa?” jawabnya.
“Iya gak apa-apa, ditebengin aja aku udah
ucapin makasih,” jelasku.
Sekitar 15 menit sebelum adzan maghrib,
aku dan Izi sampai di rumahku. Sedih! Aku ingin lebih lama lagi bersamanya.
Huuuft, masih ada besok lagi.
“Maaf, aku langsung aja ya, gak mampir,”
ucap Izi.
“Iya gak apa-apa, makasih ya,” jawabku.
Sekilas, kami bertemu dengan bapakku. Izi
dan bapak sempat saling melempar senyum. Saat aku masuk ke rumah, ternyata
orang tuaku sudah menyiapkan hidangan berbuka untuk Izi.
“Udah sampai belom? Tahu gak ternyata
ortu aku mengira kamu mau mampir tadi,” SMS-ku ke Izi.
“Udah, ini lagi makan. Iyakah, salam aja
buat mereka,” balasnya.
Esok hari, baliknya aku nebeng lagi.
“Nak, titip Tria ya,” ucap ibu sambil tersenyum pada Izi. Ibu mengantarku
menemui Izi. Mendengar kata-kata ibu, Izi hanya mengangguk sambil tersenyum
yang berarti –iya tentu saja-. Sayangnya kali ini, Izi kurang beruntung. Jam
tangannya ketinggalan, “Jam aku ketinggalan nie,” ceritanya. “Kamu buru-buru ya
tadi?” tanyaku. “Gak kok,” jawabnya singkat. Kunci motornya pun entah dimana
(motornya ajaib, nyala tanpa kunci).
Waktu itu, kami berhenti untuk isi
bensin. Izi dengan gelisah mencari-cari kunci motornya, di semua saku dia cari
dan hasilnya nihil. “Dimana ya kunci motorku?” bingung Izi. Jelas aja aku
khawatir, jangan-jangan jatuh di jalan. Lah, kalau begitu, bagaimana kami
melanjutkan perjalanan? “Lah, dimana?” bingungku juga. Sejenak kemudian, aku
lihat Izi ngobrol dengan seseorang yang juga tengah antri isi bensin. “Mas,
pinjem kunci motornya, kunci saya jatuh nih,” bilang Izi kepada pengantri
bensin itu. Aku? Jelas saja kaget dengan peristiwa tak biasa ini. Aku hanya
terdiam melihat Izi menggunakan kunci pinjaman itu untuk membuka jok motornya. “Baru
liat motor aneh begini ya?” canda Izi. Aku tersenyum dan bilang, “Iya, hehehe
:P aneh!” Kami melanjutkan perjalanan setelah memastikan si Ungu, motor Izi,
sudah kenyang dengan bensin.
Di jalan, kami bertemu dengan Akso.
“Kamu nebeng Akso aja gih, kasian kalau
pake motorku,” seru Izi.
Aku kaget mendengar pernyataan itu, yang
aku inginkan bukan perjalanan yang cepat sampai, aku hanya ingin duduk di
belakangnya, bersamanya, memandang punggungnya. Aku sama sekali tidak
berkomentar apapun. Izi pun diam.
“Nanti aku buka puasa di kos cewe ya?”
pintanya.
“Oh iya, atau mau buka puasa di jalan tak
apa,” jawabku.
“Ah tidak, aku sudah bawa makanan dari
rumah, nanti minum saja,” jelasnya.
Kami sampai di kos tepat saat adzan
maghrib berkumandang. Dia buka puasa di kos cewe sesuai dengan rencana,
kemudian pulang ke kos cowo. “Terima kasih, hati-hati di jalan,” ucapku saat
mengantarnya ke depan pintu. Saat aku masuk, teman-teman sudah duduk dengan
rapi ingin mendengarkan ceritaku bersama Izi. Hahaha J terlalu indah
untuk aku ceritakan dengan kata-kata, teman. Sepanjang jalan kenangan,
terbayang saat bersamanya setiap kali melewati jalan yang sama seperti saat
itu. Aku bahagia dalam kesederhanaan hidupnya. Aku bahkan lupa bahwa sebelum
ini pun aku pernah nebeng pulang bersama Awan. Kemana hatiku sebenarnya berada?
***
Sebelum mudik dengan Izi, aku pernah juga
mudik bersama Awan.
“Ayolah jemput aku, aku kangen. Apa kamu
gak kangen aku?” rengekku di SMS.
“Tapi aku ada acara, gak tau bisa
diwakilin atau gak. Penting! Pengukuran seragam KKN,” balasnya menjelaskan.
“Tapi kamu udah janji, kan bisa balik
lagi besok,” tambahku.
“Loh kasihan motorku dong bolak balik
terus, cape juga,” balasnya lagi.
“Ya udah, aku bisa pulang sendiri,
lagipula aku bukan anak kecil,” ancamku childish.
“Oke! Aku pulang, besok aku jemput,”
balasnya menyerah.
Aku tersenyum, akhirnya aku bisa bertemu
dengan pacarku yang mulai aneh. Meskipun aku harus terkesan childish, egois,
memalukan! Pada hari yang dinantikan, dia benar menjemputku.
Besoknya saat aku mau pulang, aku SMS
Awan, meskipun aku sudah tahu apa jawabannya, “Anter aku yuks.”
“Gak bisa, lagi puasa nih, lemes,”
balasnya.
“Ayolah, kan deket,” paksaku.
“Lain kali lah ya, bolak balik cape,”
balasnya lagi tetap keukeuh dengan pendiriannya.
Aku mulai kesal, bukan karena dia tidak
mau mengantarku sebenarnya, lebih karena dia mulai menghindar bertemu denganku.
“Oke, aku gakkan ngrepotin kamu lagi kok.
Gak bisa ya manjain aku sedikit aja,” tegasku.
“Manjain menurut kamu itu seperti apa
sih? Semua yang kamu mau harus aku turuti?” balasnya.
“Ah, ya sudahlah, aku mau naik bus,”
jawabku mengakhiri obrolan.
Aku tak pernah benar-benar marah saat
itu. Bahkan aku menulis SMS sambil tertawa melihat tingkahku sendiri.
Menurutku, memalukan, kata-kata itu hanya untuk melihat respon dari Awan.
Sedikit berlebihan, tapi aku memang penasaran dengan tingkah anehnya. Aku
takkan pernah menyangka bahwa ternyata itu adalah pertemuan terakhirku dengan
Awan. Bukan karena Awan meninggal, tetapi seperti yang aku rasa, dia menghindariku,
tak ingin lagi bertemu denganku. Seandainya aku tahu….
***
19 Agustus 2012, hari lebaran datang,
Allohu Akbar!! Maha Besar Alloh dengan segala kekuasaan dan kemuliaanNya, aku
masih diberi kesempatan merayakan hari ini bersama keluarga tercinta. H+1, H+2,
H+3, dan seterusnya H+5.
“Awan mau datang gak nih ke rumah?” tanya
nenek.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. Diam.
“Awan masih menghubungimu?” tanya ibu.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. Diam.
Apa yang harus aku jawab? SMS tak
dibalas, telpon tak diangkat. Dia dimana saja aku tak pernah tahu.
“Hei, Tria, aku kemarin lihat Awan lagi
jalan ma temen-temennya. Apa dia udah mampir ke rumah?” tanya Nita.
“Belum,” jawabku singkat.
“Apa sih mau tuh anak, gak jelas!
Sudahlah, gak ada guna dipertahankan, pengecut!” seru Nita.
Air mataku perlahan menetes mengingat apa
yang sebenarnya terjadi diantara kami. Kisahku dan Awan terasa sangat singkat.
Semua hanya karena rasa bersalah Awan dengan masa lalunya bersama mantan
pacarnya sebelum denganku. Nita adalah sahabatku yang juga teman SMP Awan. Aku
tentu saja menceritakan masalahku dengan Awan, cuma dia yang bisa membantuku
saat ini.
“Aku akan membuat Awan menghubungimu,”
ucap Nita menenangkanku, “Tria, hidup itu seperti lautan, laut akan semakin
indah dengan adanya ombak, bukan? Sabarlah.”
Suatu malam, di malam terakhir aku di
rumah, sebelum balik ke kos, Awan SMS, “Maaf belum bisa mampir, lagi sibuk.”
Aku balas, “Iya aku ngerti.”
Jangan
kau ganggu hidupku lagi, sudah jelas kini yang kau mau.
Kau
sakiti hati ini tuk kesekian kali, memang ku cinta namun tak begini…
Terserah
kali ini, sungguh aku takkan peduli, ku tak sanggup lagi jalani cinta denganmu.
Biarkan
ku sendiri tanpa bayang-bayangmu lagi, ku tak sanggup lagi, mulai kini semua
terserah….
***
0 komentar:
Posting Komentar