28 Agustus 2012, malam hari di kos Loano,
aku tengah asyik mengerjakan laporan KKN bersama teman-teman. Kemudian,
“Gimana, udah ketemu Awan lebaran
kemarin?” tanya Iwi penasaran.
“Belum, Awan bilang lagi sibuk,” jawabku
sekenanya.
“Pengecut! Udah lah kamu aja dulu gih
putusin, minta kejelasan,” sambung Ulli kesal.
Aku memandang wajah serius teman-temanku.
“Ya, nanti kami bantu bikin kalimatnya,
gimana?” tawar Momon.
-Baiklah- arti dari anggukan dan
senyumanku.
Ku
harus menemui cintaku, mencari tahu hubungan ini, apa masih atau tlah berakhir?
Kau
menggantungkan hubungan ini, kau diamkan aku tanpa sebab, maunya apa? Ku harus
bagaimana?
Kasih,
sampai kapan kau gantung cerita cintaku membuatku sakit….
“Apapun itu, please, beri aku kepastian,
aku ingin tahu,” SMS-ku yang segera saja aku kirimkan ke Awan.
Beberapa saat kemudian (tidak terlalu
lama), drrrrrrrrrrrrt….! Handphone-ku bergetar. SMS Awan masuk.
“Tria, kamu begitu baik, kamu
menyayangiku, begitupun aku menyayangimu. Tapi aku susah hubungan jarak jauh.
Kalau kita berjodoh, kita pasti akan bertemu lagi,” balas Awan.
Mataku serasa ingin keluar membaca SMS
itu. Ingin aku robek dadaku, kucopot jantungku, dan aku makan mentah-mentah
(alay, hueeeeeek :P) Awan putusin aku! Lewat SMS!
“Awan putusin aku!” teriakku sambil tertawa
gembira (tapi lebih karena gila).
Teman-temanku melihatku dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Simpati. Wajah mereka seakan mengatakan ‘tuh
kan apa kami bilang, dia pengen putus dari kamu, kamu sih kalah cepet’.
Hana memecah keheningan diantara kami, “Jawab
gih, begini ‘aku udah nunggu lama kepastian dari kamu, terima kasih untuk cinta
sesaat kamu, maaf kalau aku ada salah’ begitu.”
Ya, aku nurut saja, aku ketik SMS dan aku
kirim pada Awan (otakku cuti untuk bekerja).
SMS dari Awan lagi, “Jujur ini berat buat
aku, tapi aku ingin konsen karier dulu.”
Karier! Whatever…. Bullshit!
Jawabku (tanpa rasa), “Oke! Aku tunggu
kabar kesuksesan kamu.”
Begitulah akhir cerita cintaku dengan
Awan. Cincin darinya tak lagi melekat di jari tengah tangan kiriku sejak saat
itu (tapi masih aku simpan, entahlah, mungkin suatu saat aku bisa
mengembalikannya).
Rasa
takut kehilanganmu, kini menjelma menjadi nyata.
Ku
tak bisa menghindar mungkin cintaku telah usai…
Ingin
rasanya aku memelukmu, tuk terakhir kali sebelum engkau pergi,
Namun
ku takut tak mampu menahan air mataku….
Apakah aku akhirnya menangis? Ya, bahkan
sebelum ini pun sudah (terlalu) banyak air mataku menetes.
Sandiwarakah
selama ini, setelah sekian lama kita tlah bersama.
Inikah
akhir cerita cinta yang selalu aku banggakan di depan mereka.
Entah
dimana ku sembunyikan rasa malu.
Kini
harus aku lewati sepi hariku, tanpa dirimu lagi.
Biarkan
kini ku berdiri melawan waktu tuk melupakanmu walau pedih hati, namun aku
bertahan….
Pagi harinya, wajahku sembab tentu saja. Aku
memilih untuk menghindar, selama mungkin pergi dari basecamp. Badmood! Aku
bertapa di perpustakaan dengan modus mengerjakan laporan KKN. Begitu bosan
bertapa sendirian, aku mengungsi di ruang piket. Alergi ngumpul bersama
teman-teman di basecamp. Apakah teman-teman tidak tahu aku putus? Tentu saja
berita itu sudah menyebar ke-12 temanku tanpa butuh tayangan infotainment
gosip.
“Sudahlah, masih banyak cowo yang lain,”
hibur Ano begitu aku masuk basecamp.
“Please deh, kamu tuh ya jangan mengemis
gitu dong, buktiin kamu bisa, jangan jadi cewe bodoh deh” ledek (ejek) Putra.
Meringis aja deh J yang artinya
-terima kasih, teman-teman, kalian sudah berusaha menghiburku-.
Kemudian, Izi masuk ruangan dengan
membawa stereoform. Program kerja fisik kami terakhir adalah membuat monumen
nasional untuk perayaan ulang tahun daerah. Melihatnya, aku terdiam, kembali
(berpura-pura) sibuk dengan laporan KKN. Dia duduk di kursi sebelahku (berjarak
4 keramik kecil), menghadapku, berkonsentrasi membuat pola di stereoform tadi.
Nafasku melambat, aku (seperti) mendengar hembusan nafasku sendiri, begitu
tertata. Dari sudut mataku, aku mencuri pandang ke arahnya. Aku tersenyum,
(benar-benar) tersenyum, mendekap jantungku dengan sebelah tangan dan berdoa
“Tuhan, genggam erat hatiku”. Lupakah aku dengan tangisanku semalam?
Sebenarnya, siapa yang mencuri hatiku sejak awal?
***
Minggu-minggu terakhir KKN, diadakan
lomba futsal antar kelas, tim KKN menjadi panitia. Siapa panitia cewe paling
rajin mengikuti futsal? Jelas, aku jawabannya :D haha. Bagaimana tidak? Izi
menjadi wasit dalam pertandingan. Apapun kegiatan KKN dimana di sana ada Izi,
aku akan dengan semangat mengikutinya. Ya walaupun hanya bisa memandangnya
dengan sudut mata, tak mengapa. Karena dia, KKN berjalan begitu cepat (relativitas
waktu).
Aktivitas rutin panitia setiap selesai
futsal adalah membersihkan lapangan sehingga esok hari ketika siswa-siswa
memulai KBM, lingkungan sekolah tetap bersih.
Kami akan menunduk-nunduk sepanjang lapangan untuk memungut sampah yang
ditinggalkan penonton. Jika diumpamakan lahan sekolah adalah tangga, lapangan
futsal ini berada di undakan bawah sehingga tanah di sekitarnya lebih tinggi.
Aku sebagai salah satu panitia juga harus bekerja keras memungut sampah :3
Waktu itu, aku di lapangan bawah, dan teman-teman sudah naik. Bukan hal mudah
untuk cewe naik langsung lewat tepian tanah yang berbatasan langsung dengan
lapangan. Akhirnya,
“Hesti, Putra, Izi, tolonglah ada yang
bantu aku naik,” pintaku.
Hesti jaraknya terlalu jauh dariku. Putra
sibuk sendiri dengan kerjaannya mengangkat meja dan kursi. Lalu, Izi yang
tengah mengumpulkan bola dan mendengar panggilanku segera membalikkan badannya,
memberikan tanggannya untukku, tanpa kata. Aku tersenyum dan meraih tangannya.
Dia ikut tersenyum dan menggenggam tanganku. Hangat! Nyaman! Semua berjalan
hanya dalam hitungan detik, tetapi dalam kerja relativitas waktuku, semua
seperti terjadi dalam gerak lamban, “Terima kasih.” Aku tersenyum setiap kali
mengingat hal itu. Aku akan dengan bodoh tersenyum melihat-lihat telapak tangan
dan jemariku, bahkan sampai detik ini jemariku menari di atas keyboard.
Pada suatu sore, ketika aku dan
teman-teman cewe tengah asyik duduk di lobbi, seorang siswa jalan melewati
kami, “permisi,” sapanya. Namanya Avy, dia muridku. Dia tersenyum pada kami,
“cantik,” batinku sendiri.
“Woi, woi, lihat itu loh, nungguin kamu,”
seru Tio dari belakang Avy.
“Nih pakai aja motor aku,” tawar Putra
sambil melempar kunci ke arah seseorang di belakangnya. Siapa dia? Izi!
Mataku tak sanggup menghindar dari
keributan itu. Semua temen-temen cowo berbaris di tepi jalan. Apa yang sedang
terjadi? Izi mengantarkan Avy pulang ke rumah, OMG! Ingatanku berputar ke waktu
seminggu yang lalu,
“Ibu, salam buat pak Izi ya,” teriak Avy
saat perpisahanku di kelas, “Apa pak Izi sudah punya pacar?”
Jawabku tanpa berani memandangnya, ada
rasa tak menentu di hatiku, “Oh ya, nanti ibu sampaikan. Sepertinya belum
punya.”
Hem, ya, ternyata Avy dan Izi pernah
jalan berdua juga selain ini. Itu rekayasa teman-teman cowo dengan modus
membantu Izi yang masih jomblo. Mendengar ini, melihat ini, aku………….. aku masuk
basecamp. Beberapa saat kemudian, Izi masuk basecamp setelah mengantar Avy.
Hana yang juga ada di basecamp memutar lagu Mikha,”Ini buat Tria!”
Ku
tak tahu, mengapa aku malu di setiap aku tahu dia di dekatku.
Aku
susah bila dia tak ada, tak ingin jauh ku darinya.
Ada
rasa yang tak biasa yang mulai ku rasa dan entah mengapa.
Mungkinkah
ini pertanda aku jatuh cinta….
Tuhan
tolong berikanlah isyarat semoga dia jawaban atas doaku.
Tak
bisa aku mengenal cinta yang indah tanpa air mata.
Ada
rasa yang tak biasa yang mulai ku rasa dan entah mengapa….
Sore harinya di kos, saat aku duduk
dengan suasana tak menentu setiap ingat kejadian tadi sore di sekolah, air
mataku mengalir. Aku bingung, bagaimana ini, aku menangis.... Sungguh, aku
cemburu. Rasa cemburu yang sama sekali salah jika aku tunjukkan. Siapa aku?!!
Rasa cemburu yang mengendap di hati, tak kuasa lagi tertahan, berubah menjadi
butiran air mata. Teman-teman cewe bingung melihatku tiba-tiba menangis.
Drrrrrrrrrrt… ddrrrrrrrrrt… ada panggilan
masuk di handphone-ku. Ibu telpon. Sangat membantu, dapat aku jadikan alibi.
Aku kangen rumah.
Sejak saat itu, aku menjadi kepo segala
macam tentang Avy. Memalukan!
0 komentar:
Posting Komentar