Sabtu, 15 Desember 2012 - 0 komentar

Laut Indah Karena Ombak Part 4



28 Agustus 2012, malam hari di kos Loano, aku tengah asyik mengerjakan laporan KKN bersama teman-teman. Kemudian,
“Gimana, udah ketemu Awan lebaran kemarin?” tanya Iwi penasaran.
“Belum, Awan bilang lagi sibuk,” jawabku sekenanya.
“Pengecut! Udah lah kamu aja dulu gih putusin, minta kejelasan,” sambung Ulli kesal.
Aku memandang wajah serius teman-temanku.
“Ya, nanti kami bantu bikin kalimatnya, gimana?” tawar Momon.
-Baiklah- arti dari anggukan dan senyumanku.
Ku harus menemui cintaku, mencari tahu hubungan ini, apa masih atau tlah berakhir?
Kau menggantungkan hubungan ini, kau diamkan aku tanpa sebab, maunya apa? Ku harus bagaimana?
Kasih, sampai kapan kau gantung cerita cintaku membuatku sakit….

“Apapun itu, please, beri aku kepastian, aku ingin tahu,” SMS-ku yang segera saja aku kirimkan ke Awan.
Beberapa saat kemudian (tidak terlalu lama), drrrrrrrrrrrrt….! Handphone-ku bergetar. SMS Awan masuk.
“Tria, kamu begitu baik, kamu menyayangiku, begitupun aku menyayangimu. Tapi aku susah hubungan jarak jauh. Kalau kita berjodoh, kita pasti akan bertemu lagi,” balas Awan.
Mataku serasa ingin keluar membaca SMS itu. Ingin aku robek dadaku, kucopot jantungku, dan aku makan mentah-mentah (alay, hueeeeeek :P) Awan putusin aku! Lewat SMS!
“Awan putusin aku!” teriakku sambil tertawa gembira (tapi lebih karena gila).

Teman-temanku melihatku dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Simpati. Wajah mereka seakan mengatakan ‘tuh kan apa kami bilang, dia pengen putus dari kamu, kamu sih kalah cepet’.
Hana memecah keheningan diantara kami, “Jawab gih, begini ‘aku udah nunggu lama kepastian dari kamu, terima kasih untuk cinta sesaat kamu, maaf kalau aku ada salah’ begitu.”
Ya, aku nurut saja, aku ketik SMS dan aku kirim pada Awan (otakku cuti untuk bekerja).
SMS dari Awan lagi, “Jujur ini berat buat aku, tapi aku ingin konsen karier dulu.”
Karier! Whatever…. Bullshit!
Jawabku (tanpa rasa), “Oke! Aku tunggu kabar kesuksesan kamu.”
Begitulah akhir cerita cintaku dengan Awan. Cincin darinya tak lagi melekat di jari tengah tangan kiriku sejak saat itu (tapi masih aku simpan, entahlah, mungkin suatu saat aku bisa mengembalikannya).
Rasa takut kehilanganmu, kini menjelma menjadi nyata.
Ku tak bisa menghindar mungkin cintaku telah usai…
Ingin rasanya aku memelukmu, tuk terakhir kali sebelum engkau pergi,
Namun ku takut tak mampu menahan air mataku….
Apakah aku akhirnya menangis? Ya, bahkan sebelum ini pun sudah (terlalu) banyak air mataku menetes.
Sandiwarakah selama ini, setelah sekian lama kita tlah bersama.
Inikah akhir cerita cinta yang selalu aku banggakan di depan mereka.
Entah dimana ku sembunyikan rasa malu.
Kini harus aku lewati sepi hariku, tanpa dirimu lagi.
Biarkan kini ku berdiri melawan waktu tuk melupakanmu walau pedih hati, namun aku bertahan….

Pagi harinya, wajahku sembab tentu saja. Aku memilih untuk menghindar, selama mungkin pergi dari basecamp. Badmood! Aku bertapa di perpustakaan dengan modus mengerjakan laporan KKN. Begitu bosan bertapa sendirian, aku mengungsi di ruang piket. Alergi ngumpul bersama teman-teman di basecamp. Apakah teman-teman tidak tahu aku putus? Tentu saja berita itu sudah menyebar ke-12 temanku tanpa butuh tayangan infotainment gosip.
“Sudahlah, masih banyak cowo yang lain,” hibur Ano begitu aku masuk basecamp.
“Please deh, kamu tuh ya jangan mengemis gitu dong, buktiin kamu bisa, jangan jadi cewe bodoh deh” ledek (ejek) Putra.
Meringis aja deh J yang artinya -terima kasih, teman-teman, kalian sudah berusaha menghiburku-.

Kemudian, Izi masuk ruangan dengan membawa stereoform. Program kerja fisik kami terakhir adalah membuat monumen nasional untuk perayaan ulang tahun daerah. Melihatnya, aku terdiam, kembali (berpura-pura) sibuk dengan laporan KKN. Dia duduk di kursi sebelahku (berjarak 4 keramik kecil), menghadapku, berkonsentrasi membuat pola di stereoform tadi. Nafasku melambat, aku (seperti) mendengar hembusan nafasku sendiri, begitu tertata. Dari sudut mataku, aku mencuri pandang ke arahnya. Aku tersenyum, (benar-benar) tersenyum, mendekap jantungku dengan sebelah tangan dan berdoa “Tuhan, genggam erat hatiku”. Lupakah aku dengan tangisanku semalam? Sebenarnya, siapa yang mencuri hatiku sejak awal?
***
Minggu-minggu terakhir KKN, diadakan lomba futsal antar kelas, tim KKN menjadi panitia. Siapa panitia cewe paling rajin mengikuti futsal? Jelas, aku jawabannya :D haha. Bagaimana tidak? Izi menjadi wasit dalam pertandingan. Apapun kegiatan KKN dimana di sana ada Izi, aku akan dengan semangat mengikutinya. Ya walaupun hanya bisa memandangnya dengan sudut mata, tak mengapa. Karena dia, KKN berjalan begitu cepat (relativitas waktu). 

Aktivitas rutin panitia setiap selesai futsal adalah membersihkan lapangan sehingga esok hari ketika siswa-siswa memulai KBM, lingkungan sekolah tetap bersih.  Kami akan menunduk-nunduk sepanjang lapangan untuk memungut sampah yang ditinggalkan penonton. Jika diumpamakan lahan sekolah adalah tangga, lapangan futsal ini berada di undakan bawah sehingga tanah di sekitarnya lebih tinggi. Aku sebagai salah satu panitia juga harus bekerja keras memungut sampah :3 Waktu itu, aku di lapangan bawah, dan teman-teman sudah naik. Bukan hal mudah untuk cewe naik langsung lewat tepian tanah yang berbatasan langsung dengan lapangan. Akhirnya,
“Hesti, Putra, Izi, tolonglah ada yang bantu aku naik,” pintaku.
Hesti jaraknya terlalu jauh dariku. Putra sibuk sendiri dengan kerjaannya mengangkat meja dan kursi. Lalu, Izi yang tengah mengumpulkan bola dan mendengar panggilanku segera membalikkan badannya, memberikan tanggannya untukku, tanpa kata. Aku tersenyum dan meraih tangannya. Dia ikut tersenyum dan menggenggam tanganku. Hangat! Nyaman! Semua berjalan hanya dalam hitungan detik, tetapi dalam kerja relativitas waktuku, semua seperti terjadi dalam gerak lamban, “Terima kasih.” Aku tersenyum setiap kali mengingat hal itu. Aku akan dengan bodoh tersenyum melihat-lihat telapak tangan dan jemariku, bahkan sampai detik ini jemariku menari di atas keyboard.

Pada suatu sore, ketika aku dan teman-teman cewe tengah asyik duduk di lobbi, seorang siswa jalan melewati kami, “permisi,” sapanya. Namanya Avy, dia muridku. Dia tersenyum pada kami, “cantik,” batinku sendiri.
“Woi, woi, lihat itu loh, nungguin kamu,” seru Tio dari belakang Avy.
“Nih pakai aja motor aku,” tawar Putra sambil melempar kunci ke arah seseorang di belakangnya. Siapa dia? Izi!

Mataku tak sanggup menghindar dari keributan itu. Semua temen-temen cowo berbaris di tepi jalan. Apa yang sedang terjadi? Izi mengantarkan Avy pulang ke rumah, OMG! Ingatanku berputar ke waktu seminggu yang lalu,
“Ibu, salam buat pak Izi ya,” teriak Avy saat perpisahanku di kelas, “Apa pak Izi sudah punya pacar?”
Jawabku tanpa berani memandangnya, ada rasa tak menentu di hatiku, “Oh ya, nanti ibu sampaikan. Sepertinya belum punya.”

Hem, ya, ternyata Avy dan Izi pernah jalan berdua juga selain ini. Itu rekayasa teman-teman cowo dengan modus membantu Izi yang masih jomblo. Mendengar ini, melihat ini, aku………….. aku masuk basecamp. Beberapa saat kemudian, Izi masuk basecamp setelah mengantar Avy. Hana yang juga ada di basecamp memutar lagu Mikha,”Ini buat Tria!”
Ku tak tahu, mengapa aku malu di setiap aku tahu dia di dekatku.
Aku susah bila dia tak ada, tak ingin jauh ku darinya.
Ada rasa yang tak biasa yang mulai ku rasa dan entah mengapa.
Mungkinkah ini pertanda aku jatuh cinta….
Tuhan tolong berikanlah isyarat semoga dia jawaban atas doaku.
Tak bisa aku mengenal cinta yang indah tanpa air mata.
Ada rasa yang tak biasa yang mulai ku rasa dan entah mengapa….

Sore harinya di kos, saat aku duduk dengan suasana tak menentu setiap ingat kejadian tadi sore di sekolah, air mataku mengalir. Aku bingung, bagaimana ini, aku menangis.... Sungguh, aku cemburu. Rasa cemburu yang sama sekali salah jika aku tunjukkan. Siapa aku?!! Rasa cemburu yang mengendap di hati, tak kuasa lagi tertahan, berubah menjadi butiran air mata. Teman-teman cewe bingung melihatku tiba-tiba menangis. 

Drrrrrrrrrrt… ddrrrrrrrrrt… ada panggilan masuk di handphone-ku. Ibu telpon. Sangat membantu, dapat aku jadikan alibi. Aku kangen rumah.
Sejak saat itu, aku menjadi kepo segala macam tentang Avy. Memalukan!

0 komentar:

Posting Komentar